Ini cerita tentang bapak saya. Tiga hari sebelum meninggal, beliau bercerita kepada saya, katanya beliau bertemu dengan teman-temannya yang sudah meninggal dunia. Waktu itu ada salah satu teman beliau meninggal, dan saya mengantar melayat.
Saat sedang melayat itulah, bapak merasa bertemu teman-temannya. Anehnya, yg ia temui adalah temannya yang sudah meninggal.
Saat saya mendengar cerita bapak soal pertemuannya dengan
teman-teman yang sudah almarhum tersebut, saya menyelanya, “hayahh. hayalan
bapak itu!" kata saya.
Saya tak pernah berpikir bahwa itu adalah firasat yang
diberikan bapak, sebelum beliau meninggal.
Saya belum bisa menangkap maksud bapak waktu itu.
Cerita akan berbeda misalnya kejadian itu sekarang.
Sedikit banyak sudah ada kesadaran yang saya yakini, bahwa
apa yang dilihat bapak itu adalah kesadaran roh.
Ya, manusia sebagai pemilik tiga unsur: wadag, nyawa dan
roh, pada masing-masing masanya akan eksis di masing-masing unsur itu. Saat
wadag eksis, nyawa berperan penting menghidupinya.
Nyawa adalah energi hidup, semacam baterai kehidupan yang
mengaktifkan wadag, sehingga semua fungsinya bekerja. Mulai dari otak, sampai syaraf-syaraf lembut di sekujur tubuh dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Selama yang eksis wadag, kesadaran sebagian manusia lebih
fokus pada kesadaran wadag. Mengupayakan apapun untuk menghidupi wadag. Bekerja
keras mengupayakan kehidupan. Meniti karir, mengumpulkan harta, semua untuk
kepentingan wadag beserta nafsu yang mengikutinya. Rasa haus dan lapar fisik,
yang kemudian menciptakan banyak kreasi makanan dan hiburan yang tujuannya ya
untuk demi kebutuhan wadag.
Lalu urusan roh yang sebenarnya juga sudah eksis di tubuh manusia,
bagaimana?
Terciptanya agama sebenarnya bertujuan untuk itu.
Agama apapun, tujuannya selalu sama. Menciptakan kebaikan.
Kebaikan nir pamrih. Itu yang kemudian menjadi makanan roh.
Tetapi apakah manusia sadar itu?
Bahwa segala yang dia lakukan terkait perbuatan baik adalah
demi untuk asupan roh?
Banyak yang menangkap, bahwa ketika itu terkait agama,
urusannya adalah mengumpulkan amal soleh demi agar selamat hidup di akhirat,
lalu masuk surga, dengan membuat pemahaman bahwa kebutuhan surga pun tak jauh beda
kebutuhan ragawi di dunia. Gambaran surga
yang sangat duniawi, dengan sungai yang mengalir semanis madu. Buah-buahan yang
ranum, serta makanan-makanan yang sekejab akan muncul saat baru ada di pikiran,
juga bidadari-bidadari yang akan memenuhi kebutuhan nafsu birahi adalah logika
kebutuhan duniawi yang kemudian mengaburkan esensi pemahaman rohani.
Dalam pemahaman saya sekarang, gambaran surga harusnya
dijauhkan dari apa saja yang terkait kebutuhan jasmani , karena yang eksis saat
kita sudah meninggalkan raga/ dunia kasat mata, ya roh.
Kebutuhan dan eksistensi roh tentu beda dengan kebutuhan eksistensi yang wadag/ kasat.
Kebutuhan dan eksistensi roh tentu beda dengan kebutuhan eksistensi yang wadag/ kasat.
Makanan buat rohpun berbeda dengan jasad. Salah satu yang
saya yakini, makanan roh adalah kebaikan yang harus bebas dari pamrih. Kebaikan
yang tak tercemar bakteri-makteri nafsu duniawi. Kebaikan yang diujungnya
berunsur pujian. Kebaikan atas nama "nama baik" di duniapun, menurut saya adalah
bakteri yang menurunkan nilai baik yang menjadi asupan bergizi roh.
Nah, di tahun baru hijriah ini. Saya sebagai pribadi ingin
hijrah dari pemahaman lama tentang nilai kebaikan yang hanya menjadi kebutuhan
jasmani, menjadi nilai kebaikan untuk kebutuhan rohani. Selain itu penting juga
memaknai bulan muharram sebagai bulan dimana kesadaran jasmani yang selama ini
dominan menjadi kesadaran sehari-hari, di hijrahkan pada kesadaran rohani
beserta hal-hal yang menjadi kebutuhannya.
Kalau tahun baru masehi, selama ini dirayakan sebagai tahun
baru suka cita fisik, dengan pesta-pesta yang mengiringinya. Dengan segala
lampiasan nafsu duniawinya. Tahun baru hijriyah, atau tahun baru jawa/suro ini
semoga bisa(saya) maknai sebagai tahun dimana rohani di senangkan. Untuk itu
diperlukan kesadaran roh untuk merayakannya. Roh dengan segala nilai yang
menyertainya. Bukan pesta hura-hura laiknya menyenangkan raga, tetapi sebuah pesta
sepi. Perayaan sunyi dengan lebih melihat ke dalam diri. Melakukan banyak
kebaikan nir pamrih.
Tradisi jawa sebenarnya sudah melakukan itu. Di jogjakarta
ada ritual jalan bisu keliling beteng keraton. Berjalan tanpa suara. Menekur ke
dalam diri. berkaca bathin, dengan kesadaran, yang berjalan tetaplah fisik, tetapi kesadaran yang
dibangun adalah kesadaran rohani.
Itu yang kan menimbulkan keseimbangan laiknya ying dan yang.
Bahwa manusia ideal adalah yang seimbang antara jasad dan roh.
Dengan munculnya kesadaran rohani, bisa jadi sangat akan
membantu saat kita sampai di ujung batas eksistensi wadag. Saat kemudian wadag
akan kehilangan fungsinya, karena energi kehidupan fisik(nyawa) sudah tak
mendukung eksistensi wadag lagi. Yang kemudian disebut sebagai kematian. Kematian
yang lalu karena keterbatasan pengetahuan selalu digambarkan sebagai sesuatu
yang menakutkan. Padahal matinya wadag itu adalah kepastian.
Saat itu, tibalah manusia eksis di dunia roh. Dunia roh yang
konon lebih kekal daripada wadag.
Kembali ke cerita di atas tentang bapak saya. Kesadaran roh
bapak muncul secara otomatis sebagai tanda-tanda, bahwa raganya akan segera
tidak berfungsi. Meski bapak waktu itu terkesan bingung dengan apa yang di
candranya. Termasuk juga saya yang belum sepenuhnya tersentuh kesadaran roh, sehingga
tidak bisa minimal mengingatkan beliau, atau justru berusaha semaksimal
mungkin menikmati sisa waktu eksistensi wadag yang dimiliki bapak, lalu kami
bisa sepenuhnya menikmati hubungan
duniawi kami.
Dengan kesadaran roh pula, harusnya kita tidak perlu berduka
dengan kematian.
Mati hanyalah terbukanya pintu eksistensi roh yang sudah
pasti datangnya. Cepat atau lambat. Tinggal kita yang menyiapkan diri, agar
saat mati (raga sudah selesai tugasnya) siap menghadapi alam roh. Memiliki kesadaran
roh dengan kondisi rohani yang kuat karena rajin kita asup kebaikan selama
hidup.
Jadi, mungkin awal tahun hijriah ini bisa jadi awal untuk
mulai berhijrah, berpindah dari hanya menyadari eksistensi wadag, menjadi lebih
tahu tentang kesadaran rohani. Lalu menyiapkan banyak rencana kebaikan tanpa pamrih, untuk
mengasup roh agar kuat dan sehat saat masanya masuk ke alamnya, yang lebih abadi.
Selamat tahun baru 1 Suro
Selamat merayakan tahun baru rohani J
sangar, cak ... :)
ReplyDelete