Tuesday, August 18, 2020

SANG GURU YANG MENDADAK PERGI (Obituari)

 




Tahun 2004 awal saya kenal dengan beliau..
Awalnya saya diajak seorang kawan yang menggawangi jurnal Srinthil, Praminto Moehayat namanya, yang juga pernah sekantor dengan saya di Project media wanita Gramedia Majalah di Jawa Timur.

Di jalan Kartini arah Citayam yang kala itu masih lengang, berdiri sebuah kantor NGO yang fokus di penelitian kebudayaan. Praminto mengajak saya main ke kantor itu yang belakangan saya tahu namanya Desantara.
Lalu saya sering mendatangi Pram di kantornya, bahkan kemudian menginap di dalamnya. Bertemu dengan orang-orang muda yang masih sangat produktif, juga bertemu beliau, Bisri Effendi yang ternyata adalah kawan dari kakak saya, Wees Ibnoe Say seorang pendongeng dan aktifis NU.
Saya seperti dapat privilege begitu mas Bisri tau siapa saya. Lalu jadi bisa leluasa main di Desantara, sambil sesekali dapat job membantu layout, desain kover, dan ilustrasi untuk jurnal Srintil dan majalah Desantara.
Medio 2004- 2008 adalah masa intim saya dengan desantara. Berkawan dengan orang-orang yang bekerja di dalamnya laiknya saudara. Saya beberapa kali membantu mendesain jurnal srinthil bersama Pram dan Miftahussurur, Kemudian saya sering ke "dapur' Desantara, sebuah percetakan yang terletak di pondok labu. Disana saya bertemu mas Wawan,menantu mas Bisri yang mengelola percetakan juga Huda, adik mas Sueidi sebagai 'bos' percetakan.
Dari hulu sampai hilir, semua masalah terkait penerbitan bisa saya lakukan dibawah payung Desantara.

Bahkan saya bisa masuk dapur redaksi majalah Syir’ah dibawah komando mas Alamsyah Ja’far, yang waktu merupakan media keislaman ‘underbown’ Desantara dan menjadi rival berat dan penyeimbang majalah Sabili sebagai media kanan progresif. Di syirah saya bertemu Alamsyah, Mujtaba, Hamim Enha, dan fathuri yang merupakan gang Ciputat yang suka tidak suka adalah santri Mas Bisri. Sesekali saya membuatkan ilustrasi untuk majalah Syir’ah.

Oh ya, desantara juga pernah menerbitkan jurnal Jalang, dimana saya kemudian kenal Huda dan Reza Tabalong. Jalang setahu saya adalah wujud ‘kenakalan’ dari interaksi pemikiran teman-teman santri Desantara dengan mas Kirik Ertanto, seorang peneliti/antropolog dari Jogjakarta.

Pada prosesnya mas Bisri adalah tempat saya bertanya terkait isu-isu kebudayaan. Disela waktu sibuk beliau,saya suka mencuri obrolan yang lumayan menambah wawasan cetek saya. Sampai kemudian di akhir tahun 2008 mas Bisri memutuskan mundur dari Desantara, lalu menggagas lembaga baru yang tetap berusaha menampung pikiran-pikiran teman yang masih konsen di dunia kajian budaya (cultural studies)  bernama Tankinaya. Meski akhirnya tankinaya tidak maksimal karena masing-masing teman mulai sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi sesekali kita masih bertemu, bertukar pikiran sambil ngopi di jl.Madrasah laintai atas, rumah tinggal Mas Bisri. Sambil sesekali merepotkan bu Bisri yang kalau masak ingkung ayam uenak sekali.

Sampai beberapa waktu lalu,di penghujung 2019, teman-teman alumni Desantara mendadak membuat hajatan. Anak OB setia Desantara,Pak Basis minta sunat. Kemudian kita beramai-ramai urunan membuatkan hajatan buat anak Mas Basis, sebagai wujud betapa kita masih tetap merasa satu rumah di Desantara.
Hajatan itu menjadi pertemuan terakhir kami, keluarga besar eks Desantara dengan Mas Bisri.

Kabar barusan begitu menyentak kami.
Ditengah pandemi yang membuat kita membatasi silaturahmi, datang kabar duka itu.
Mas Bisri wafat, padahal kondisi beliau baik-baik saja.
Kabarnya bahkan tadi siang beliau masih terlibat di sebuah acara diskusi.

Selamat Jalan mas BE, Duka mendalam untuk kepergianmu
Alfatihah...

No comments:

Post a Comment