sumber foto: akun twitter @Ari_ChesterFN
Dalam
situasi pandemi ini, bisa jadi orang
sudah muak dengan banjir informasi tapi tidak jadi solusi.
Juga janji-janji dan larangan-larangan terkait protokol kesehatan yg lama2
malah jadi terror.
Hidup seperti sedang 'dicemplungin' dalam
kolam atau sungai. Ditenggelamkan sampai ke leher. Masih bisa bernafas
tetapi tersengal. Diperparah dengan kondisi ekonomi yg pelan tapi pasti menuju
sekarat.
Lalu apa yang dibutuhkan dalam kondisi seperti itu?
Hiburan? bisa jadi.
Lalu
munculah film pendek durasi 30 menitan berjudul "Tilik" yang
secara jitu bisa diakses bebas melalui youtube.
Film yang membuat orang bisa tertawa-tertawa lagi.
Membayangkan kondisi normal lagi lalu bisa ngeriung tanpa mikir jaga
jarak.
Beradu bacot pas dimulut tanpa takut menularkan virus. Pergi beramai-ramai
dalam naungan pak RT atau ibu dasawisma,
Menjenguk tetangga yang sakit lah,mendatangi acara kawinan lah.
Kehangatan yang tiba-tiba saja terampas seperti terwakili di film itu.
sedangkan
untuk saya sendiri, "Tilik" itu mengingatkan dengan yg paling
intim dalam hidup saya, yaitu ibuk. Tiap ada acara sewelasan (pengajian bulanan
rutin) di pondoknya bah Ahmad Daldiri di Lempuyangan, ibukku adalah mobilisator
warga.
Dengan mencarter kol (colt) bak terbuka atau kl beruntung dpt mobil angkot
jurusan Jokteng wetan -Kretek. Beramai-ramai berangkat ngaji.
Dananya kolekan dgn warga,
Kadang ibuk nombok sampai jual jarik kesayangannya, demi ramainya pengajian
sewelasan di lempuyangan.
Setelah
ibuk wafat warga desa masih datang ke lempuyangan dengan ngontel sepeda. bisa
dilihat pas hajatan sewelasan, di jl. katamso jokteng wetan terlihat rombongan
sepeda 'ngalor' menuju Lempuyangan.
Untuk ibu-ibu Tinggal di desa pasti akan berkutat dengan rewang,
pengajian dan tilik wong gerah
Sedang laki-laki tak akan jauh dengan sambatan (lebih ke fisik biasanya seperti
membangun atau renovasi rumah' kendurenan, jagong bayi dan pengajian.
Melihat film 'Tilik' akan lebih asyik sambil mempelajari kultur masyarakat desa
di sekitar DIY, Jawa tengah sampai perbatasan Jawa timur yang mirip-mirip.
Ada kearifan lokal yang bisa jadi berbeda dengan wilayah lain.
Ada kedekatan yang sekilas "ganggu' menurut orang jakarte. seperti Gosib antar
tetangga, gunjingan tak habis-habis mewarnai aktivitas bersama yang tidak dipungkiri
membuat hubungan jadi terasa dekat tanpa sekat, dengan resiko apa-apa dibahas
dan direcoki. lalu bisa jadi efeknya malah membuat sakit hati dan musuhan.
Tenang, masih ada riyoyo.
Lebaran yang mana tradisi sungkem keliling ke rumah-rumah akan mencairkan semua masalah, kecuali hutang.
Begitulah dinamika hidup di kampung. Setiap orang jadi merasa berhak mengontrol kehidupan pribadi yang lain. kalau dirasa tidak sesuai kebiasaan, 'ora koyo adate' pasti akan digunjing sampai lambene njedir ledes.
Kalau kemudian film
'Tilik'viral dan diperguncingkan, ya karena saat melihat film itu,masing-masing
individu merasa seperti berkaca melihat dirinya sendiri.
Selamat untuk penulis cerita dan
sutradaranya.
'Sampean-sampean cen ngeten!'
No comments:
Post a Comment