Friday, August 21, 2020

TILIK

                             sumber foto: akun twitter @Ari_ChesterFN



Dalam situasi  pandemi ini, bisa jadi orang sudah muak dengan banjir informasi tapi tidak jadi solusi. 
Juga janji-janji dan larangan-larangan terkait protokol kesehatan yg lama2 malah jadi terror. 

Hidup seperti sedang 'dicemplungin' dalam kolam atau sungai. Ditenggelamkan sampai ke leher. Masih bisa bernafas tetapi tersengal. Diperparah dengan kondisi ekonomi yg pelan tapi pasti menuju sekarat. 

Lalu apa yang dibutuhkan dalam kondisi seperti itu?
Hiburan? bisa jadi. 

Lalu munculah film pendek durasi 30 menitan berjudul "Tilik" yang secara jitu bisa diakses bebas melalui youtube. 
Film yang membuat orang bisa tertawa-tertawa lagi. 
Membayangkan kondisi normal lagi lalu  bisa ngeriung tanpa mikir jaga jarak. 
Beradu bacot pas dimulut tanpa takut menularkan virus. Pergi beramai-ramai dalam naungan pak RT atau ibu dasawisma,
Menjenguk tetangga yang sakit lah,mendatangi acara kawinan lah.
Kehangatan yang tiba-tiba saja  terampas seperti terwakili di film itu.

sedangkan untuk saya sendiri, "Tilik" itu mengingatkan dengan yg paling intim dalam hidup saya, yaitu ibuk. Tiap ada acara sewelasan (pengajian bulanan rutin) di pondoknya bah Ahmad Daldiri di Lempuyangan, ibukku adalah mobilisator warga. 
Dengan mencarter kol (colt) bak terbuka atau kl beruntung dpt mobil angkot jurusan Jokteng wetan -Kretek. Beramai-ramai berangkat ngaji. 
Dananya kolekan dgn warga, 
Kadang ibuk nombok sampai jual jarik kesayangannya, demi ramainya pengajian sewelasan di lempuyangan.

Setelah ibuk wafat warga desa masih datang ke lempuyangan dengan ngontel sepeda. bisa dilihat pas hajatan sewelasan, di jl. katamso jokteng wetan terlihat rombongan sepeda 'ngalor' menuju Lempuyangan.

 "Tilik' dengan cerdas mampu meramu adegan yang membuat masing-masing orang merasa terwakili kenangannya, terutama yang tinggal dimana setting cerita dibuat, wilayah pedesaan Mbantul yang berdekatan dengankota Jogjakarta.

Untuk ibu-ibu Tinggal di desa pasti akan berkutat dengan rewang, pengajian dan tilik wong gerah
Sedang laki-laki tak akan jauh dengan sambatan (lebih ke fisik biasanya seperti membangun atau renovasi rumah' kendurenan, jagong bayi dan pengajian.

Melihat film 'Tilik' akan lebih asyik sambil mempelajari kultur masyarakat desa di sekitar DIY, Jawa tengah sampai perbatasan Jawa timur yang mirip-mirip.
Ada kearifan lokal yang bisa jadi berbeda dengan wilayah lain.
Ada kedekatan yang sekilas "ganggu' menurut orang jakarte. seperti Gosib antar tetangga, gunjingan tak habis-habis mewarnai aktivitas bersama yang tidak dipungkiri membuat hubungan jadi terasa dekat tanpa sekat, dengan resiko apa-apa dibahas dan direcoki. lalu bisa jadi efeknya malah membuat sakit hati dan musuhan.

Tenang, masih ada riyoyo.
Lebaran yang mana tradisi sungkem keliling ke rumah-rumah akan mencairkan semua masalah, kecuali hutang.

Begitulah dinamika hidup di kampung. Setiap orang jadi merasa berhak mengontrol kehidupan pribadi yang lain. kalau dirasa tidak sesuai kebiasaan, 'ora koyo adate' pasti akan digunjing sampai lambene njedir ledes.

Kalau kemudian film 'Tilik'viral dan diperguncingkan, ya karena saat melihat film itu,masing-masing individu merasa seperti berkaca melihat dirinya sendiri.

Selamat untuk penulis cerita dan sutradaranya.

'Sampean-sampean cen ngeten!'

 

 


No comments:

Post a Comment