Friday, August 14, 2020

Momok itu bernama Kritik Seni #catatansenirupa

 Pagi-pagi baca tulisan salah satu seniman kakak kelas satu angkatan, baik pas di SMSR dan di ISI jurusan seni murni, tentang proses keseniannya beserta remeh temeh yang menyertainya.

Lalu saya menulis ini:
Satu hal yang akan selalu jadi ingatan saat kuliah di ISI adalah kelas kritik seni rupa (selain metopen yang susah dapet C, bahkan ada teman sampai 5 kali ngulang D terus.. hahaha)

Meski di minat utama grafis murni terutama di kelas saya kelas ini sepi dan tidak seriuh anak-anak minat utama seni lukis.
Iya, di seni lukis berkesenian adalah pilihan hidup mati,sedangkan anak grafis murni, pemikirannya sedikit beda. Kalau ga bisa jual karya ya jual ilustrasi,bikin kartun kirim ke media, atau jadi tukang layout buku (maka anak grafis murni bisa dipastikan paling melek teknologi dibanding anak lukis atau patung) Anak grafmur punya "payung cadangan" kalau di ibaratkan penerjun, dan itu tidak haram.
Sedangkan anak lukis pilihan hidupnya ya bertumpu jualan karya lukis. Titik (mural waktu itu belum jadi alternative nyari duit dan bisa di duitin)
Untuk bisa jual karya lukis, ya harus bagus karyanya. Salah satu ukuran bagus untuk anak lukis, ya harus punya ciri khas (gaya pribadi) juga soal ukuran dan jumlah karya (produktifitas membuat karya)
Jangan heran kalau main ke studio anak lukis tahun 90 an akan terlihat bertumpuk-tumpuk karya di jejer memenuhi ruangan. Kuantitas sepenting kualitas.
Komporan seniorpun begitu, "Nggambar sak akehe"
Saya ingat banget kata mas Hardjiman almarhum, “Nek lagi duwe 10 kanvas sek muk sakmeteran yo ojo ngaku cah lukis “ kalau masih punya karya 10 kanvas dan hanya semester ukurannya ya jangan ngaku anak lukis.
Demikianlah, anak lukis adalah bucin kanvas, iya, berkarya diatas kanvas adalah investasi tertinggi serta jaminan dibeli kolektor. Nganvas adalah ibadah suci anak lukis yang didalamnya berisi doa-doa keberuntungan. payu sugih, ra payu mlongo trus mancing wae.. hehehe

Kembali ke kelas kritik seni.
Di bawah pohon beringin Gampingan1, perdebatan kelas sering dibawa keluar dan masih terasa gregetnya. Apalagi sudah didorong satu dua botol anggur atau tomi, ngobrol bisa makin meriah.
Untuk menghadapi kritik tajam dari dosen dan sesama teman, beberapa kawan bersiasat dengan memilih konsep yang susah dibantah.misalnya ada kawan yang memilih absurditas sebagai tema-tema lukisannya. Saya ingat banget dari judul-judul karyanya, “mahluk X dari negeri absurd”
modar kowe,piye arep ngritik.
Sementara yang memilih tema realitas keseharian, akan gampang sekali di jegal,baik dari visual sampai konsep naratifnya. Juga yang main-main surealisme, dosen enak banget mencecar konsepnya.
Sementara itu, sebagai makhluk visual, anak seni murni tentunya rata-rata lebih fokus pada visual, tetapi lemah di pemaparan konsep karya.
Menjelas-jelaskan imajinasi visual yang sudah mucul di kanvas dalam bentuk kata-kata saat presentasi bukan hal yang mudah. Apalagi seniman kemudian identik dengan pikirannya yang suka melompat-lompat kayak pocongan. Susah berpikir terstruktur Beda dengan anak teknik/arsitek misalnya, yang tuntutan proses berkaryanya ya memang harus terstruktur, nek ora bangunane miring.

Di seni murni yang namanya ide itu seperti ilham. Kadang-kadang, atau sering mak bedunduk tiba-tiba muncul, kayak jamur tletong sapi, yang pas dicari ga nongol, eh pas lg ga butuh kok mecungul. Merangkai ide-ide itu kadang sekenanya. dan kalau diucapkan terasa pating pecotot, tidak ter struktur.

itu sering muncul di kelas saat presentasi karya.
Sudah susah ngomong, ekspresinya ngotot karena menahan emosi, perut masih kosong karena belum sarapan pula, lengkap sudah. Ditambah dosen yang sering sadis bacotnya, dan teman-teman yang waton suloyo.
Kalau di video pasti lucu banget. Sayang belum musim HP kamera waktu itu.

Tetapi semuanya selalu jadi kenangan indah saat sudah dilewati.

Mendadak saya kangen dengan kreator “makhluk X dari negeri absurd” yang akhirnya lulus cumlaude dari ISI.

Kabarnya sekarang jadi guru

No comments:

Post a Comment